Lukisan (10)


Lisa masih membeku di tempatnya, rasa sakitnya seakan hilang dibawa dinginnya angin malam. Ia terperangah dengan kenyataan yang ia saksikan sendiri. Kenyataan yang dimulai dari sebuah kotak.

“Maafkan aku…” Kata Tuan Bram lirih, tapi cukup keras untuk dapat didengar Lisa. “Maafkan aku…”

Katemi luluh. Ia membalas pelukan Tuan Bram dengan tangannya yang berlepotan darah kering. Tuan Bram memeluk Katemi lebih dalam lagi. Dalam dan dalam. Ia membenamkan wajah Katemi ke dadanya.

Setelah beberapa saat, pelukan itu terlalu erat dan dalam. Janggal. Menyadari lubang napasnya disumbat, Katemi meronta, berusaha melepaskan diri. Kedua tangan Katemi yang semula melingkar di punggung Tuan Bram tidak lagi saling menautkan jemari. Jemari itu dengan liar mencakar-cakar, mengepal dan memukul punggung Tuan Bram.

Percuma. Katemi terlalu lemah, baik badan maupun jiwanya. Perempuan paruh baya itu lemas kehabisan napas.

KRAK!

Tuan Bram memutar kepala Katemi dengan keras, memaksa tulang dan persendian di leher Katemi berputar melewati batas derajat sewajarnya. Melayang. Nyawa Katemi Lisa yakini telah melayang.

“Hahaha…” Tuan Bram tertawa. Gila. “Wanita memang makhluk yang merepotkan…”

Lisa merinding. Ia seharusnya lari sedari tadi, atau seharusnya ia tidak menuruti tuntutan rasa penasarannya. Namun tak ada gunanya menyesal, lagipula ia memang bukan macam orang yang merutuki pilihan sendiri. Selain itu, Anne masih di sana, tergeletak tak berdaya. Apapun yang terjadi ia tak boleh meninggalkan gadis kecil itu bersama seorang pembunuh gila.

“Pertama ibu…” Lanjut Tuan Bram tiba-tiba, mengagetkan Lisa yang sedang  menyeret Anne dengan susah payah. “Lalu mereka…”

Tuan Bram berbalik, menampakkan wajahnya yang seringai dan menakutkan. Seperti katak di ujung moncong ular, Lisa membeku. Sinyal apapun yang dikirim otak Lisa sama sekali tidak mencapai reseptor di ototnya.

“Lalu kau, Nona…” Tuan Bram mendekat selangkah. “Seandainya kau menuruti kata-kataku, seharusnya kau sedang terlelap nyaman sekarang…”

”Berhenti!” Pekik Lisa. Ironis. Satu-satunya jaringan otot yang bisa gerakkan saat itu hanya rahangnya. “’Wanita’? ‘Mereka’? Nona Maria juga?!”

Lisa sendiri tak habis pikir, bagaimana mungkin ia menanyakan hal itu dalam posisinya sekarang. Tuan Bram tak menggubris, tangannya meraih kepala Lisa dan menjerat berhelai-helai rambut Lisa di antara jemarinya. Kasar.

“Ya. Maria. Sekarang kau!”

Bertolakbelakang dengan ancamannya, Tuan Bram justru mengumbar panjang ceritanya. Klise. Seperti penjahat-penjahat di layar kaca kebanyakan, mengoceh lama sebelum menghabisi tokoh utama. Namun bukan tanpa arti, penjahat-penjahat itu mengoceh karena sejatinya hati mereka gelisah. Seluruh dosa dan kesalahan itu tentunya perlu diluap dan diutarakan. Semacam pengakuan dosa, dan tentunya para tokoh utama itu adalah pendengar yang lebih baik dari konselor manapun. Tentu saja, bagaimanapun para tokoh utama itu adalah orang yang terus berupaya untuk mendekati si pelaku. Seperti Lisa.

“Duh, kenapa wanita begitu merepotkan?” Tuan Bram mendekatkan wajahnya ke wajah Lisa. ”Pertama ibuku.”

Tuan Bram menghempas Lisa ke lantai, membuatnya kembali memeluk lantai. “Kata ibu, aku tak berhak atas hartanya. Ku pikir aku salah dengar, lalu esoknya aku temui lagi ia di rumah sakit. Ia tidak bicara, maka ku buka masker oksigen yang menutup mulutnya. Ku pikir ia bisa berbicara lebih jelas, tapi ia hanya meronta. Tanpa suara, dan kemudian justru tidur. Selamanya. Sayang sekali…”

“Gila!!!” Pekik Lisa dalam benaknya. Ia menatap Tuan Bram yang mondar-mandir dengan tatapan sinis dan jijik.

“Lalu aku pergi ke sini. Akademis. Karir. Ya, demi alasan seperti itulah. Lalu Katemi menemukan aku…” Tuan Bram senyap. Napasnya tersegal. Hitungan detik, dan sengal itu berubah jadi isak.

“Sial! Sial! Sial! Kenapa kalian berdua harus hadir di tengah hidupku?!” Tuan Bram memulai monolognya yang panjang.

Katemi; gadis pribumi dengan sejuta petualangan liar. Maria; gadis kaya raya yang tergila-gila padaku yang benar-benar menyusulku dari tanah Holland. Namun pada akhirnya aku harus memilih. Aku memilih melanjutkan hidup bersama Maria. Lalu Anne lahir ke dunia.

Tujuh tahun. Tahun-tahun itu adalah masa-masa terindah kami bertiga. Kemudian Katemi datang, mengaku sebagai kenalanku. Ya, Katemi datang dan gelora petualangan kami yang sempat padam kembali berkobar. Maria tidak tahu, dan jangan sampai ia tahu. Maria terlalu baik untuk itu. Lalu bocah ini datang. Katemi menjemputnya dari desanya berasal. Tak masalah siapa dia, selama Maria dan Anne senang padanya—Tian dan Anne bahkan sudah seperti kakak beradik. Maria bahkan memecah tabungannya untuk mendirikan kediaman ini. Untuk sebuah keluarga besar, katanya.

Bocah ini, pribumi dengan mata coklat cerah dan rambut yang kemerah-merahan. Seharusnya aku sadar, itu mata Katemi dan rambutku, tapi Katemi membisu. Haha, sekarang aku paham kenapa dia membisu. Mulutnya ternyata begitu busuk untuk dibuka. Tak ku sangka ia membeberkan semuanya pada Maria. Pantas saja Maria tahu, padahal permainan kami sudah sangat sempurna. Ternyata memang pemain itu sendiri yang membocorkannya—entah kenapa.

Maria marah besar. Bukan pada Katemi, tapi padaku. Aku tak mengerti, sudah ku katakan berkali-kali bahwa aku mencintainya. Namun mulutnya tak kalah ‘bau’ dengan Katemi, apalagi ia tak pernah diam. Aku mendorongnya—dan masih tak percaya aku melakukannya. Aku tak pernah bermaksud merenggut nyawanya. Aku hanya ingin dia belajar dan diam.

Situasi semakin sulit setelah kematian Maria. Anne kehilangan kewarasannya dan selalu bernafsu untuk menghajar Katemi. Katemi menjadi paranoid karenanya, ia pikir Maria membalas dendam. Padahal, seandainya Maria bisa membalas dendam, ia pasti akan mengincar aku—orang yang membunuhnya. Semuanya terlalu berat. Lebih mudah bagiku untuk melimpahkan sebagiannya pada Tian. Ya, dan pemuda itu menerima perannya dengan baik.

Ha, aku dan Katemi adalah orang brengseknya di sini, tapi kami masih menjalani hidup dengan kepala mendongak. Kami hanya ingin hidup kami kembali, bahkan kalau kami harus saling membohongi diri sendiri dan satu sama lain. Mulanya itu berhasil, lalu kau datang, Lisa.

Tuan Bram menengok ke arah Lisa. Namun gadis itu tak lagi gentar. Ada amarah di matanya. “Pengecut.”

“Kau pengecut, Tuan Bram.” Ulang Lisa sekali lagi. Tuan Bram menaikkan alis.

“Kau bisa menghadapi masalahmu, tapi kau justru kabur. Kau seharusnya bisa tegas dan memilih, tapi kau justru bimbang dan menggantung pilihan-pilihan itu. Lalu kau melimpahkan semuanya pada orang lain?”

Kata-kata Lisa meluncur begitu saja. Tubuhnya yang dibubuhi rasa sakit berusaha menegak. Berdiri.

“Kau tidak mencintai mereka, Bram. Nyonya Katemi hanya pelarianmu. Begitu pula Nyonya Maria dan hartanya. Kau membiarkan Katemi dengan mengabaikannya, lalu bersikap tak peduli pada apa yang menimpanya. Lalu kau merenggut kebahagian anakmu—Anne—dan melimpahkan kesalahan pada remaja umur belasan ini. Kemudian kau membunuh mereka semua. Bagus. Bagus sekali, yang terhormat Tuan Bram.”

“DIAM!!!”

Tuan Bram geram dan beringas, tapi inilah momen yang memang ditunggu Lisa. Ketika Tuan Bram menerjang ke arahnya, ia melemparkan ponselnya tepat ke wajah Tuan Bram, mengganggu fokus bule itu. Lalu dengan cekatan Lisa berguling ke samping mayat Katemi—dan untuk itu, ia merasa sangat berterimakasih pada guru olahraganya yang mengajari teknik senam lantai. Waktu yang ia dapatkan tadi rupanya benar-benar ia manfaatkan untuk memetakan keadaan.

Lisa berhasil menghindari terkaman Tuan Bram, tapi yang paling penting, ia berhasil menggapai dudukan lampu di samping mayat Katemi. Masih dalam keadaan berlutut dan bersiap melakukan gerakan melantai lain, Lisa menyambut terjangan kedua Tuan Bram.

BUKK

Suara peraduan benda keras yang kemudian diikuti ringis kesakitan. Lisa melakukan gerakan berguling ke samping dan berhasil mendaratkan senjatanya ke tempurung lutut Tuan Bram—lagi, ia merasa sangat bersyukur bahwa gurunya dulu mengajarkan materi senam lantai pada siswanya.

Tempurung lututnya bergeser, dan Tuan Bram tidak bisa berbuat apa-apa untuk menahan sakitnya selain berguling-guling di lantai. Momen kedua yang di manfaatkan Lisa untuk memasang kaki seribu. Ia bisa saja menghantam kepala Tuan Bram, tapi ia tidak mau ambil resiko. Koridor itu terlalu sempit untuk gerakan tak terduga yang mungkin dilakukan Tuan Bram—gerakan melantai Lisa mungkin juga sudah terbaca Tuan Bram—dan Anne masih di sekarat di sana. Pergumulan mereka bisa membahayakan Anne dan Lisa harus memancing Tuan Bram jauh-jauh dari sana. Lagipula, keadaan mereka sekarang sama; cidera kaki. Sekarang yang menentukan menang-kalah adalah tekad mereka masing-masing.

Lisa mundur perlahan, memastikan Tuan Bram bangkit dan mengejarnya. Benar, Tuan Bram bangkit dan mengejarnya, tapi yang salah dari perkiraan Lisa adalah cidera di lutut Tuan Bram sama sekali tidak mengurangi kecepatan langkahnya.

Beringas. Tuan Bram mengejar Lisa yang berlari dengan langkah terseok.

***

5 pemikiran pada “Lukisan (10)

Tinggalkan komentar